Pasang Iklan

9.12.2009

Selamat Datang (Lagi) Listrik Mahal

Meski ditolak 42.000 karyawan PLN seluruh Indonesia yang tergabung dalam Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) dan dengan ultimatum akan melakukan mogok massal secara nasional, namun DPR bersama pemerintah tetap mengesahkan RUU Ketenagalistrikan (RUUK) menjadi UU Ketenagalistrikan (UUK) dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (8/9) lalu. Sudah selama 2 tahun sejak RUUK pertama kali disetujui Pansus pada 9 Juli 2007 lalu, SP PLN sudah gencar menolaknya. Terakhir mereka melakukan demonstrasi selama dua hari berturut-turut (7-8/9) di Gedung DPR-MPR Senayan menjelang pengesahan RUUK, namun ternyata hasilnya tetap nihil. Mengapa karyawan PLN menolak RUUK? Pertama, jika menjadi UUK maka akan terjadi privatisasi terhadap PLN sebagaimana BUMN lainnya seperti Telkom, Pertamina, Garuda dan sebagainya. Apalagi dalam 5 tahun ke depan, pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN telah merencanakan akan memprivatisasi 52 BUMN dari 141 BUMN saat ini sehingga hanya 89 BUMN yang tersisa. Sejumlah BUMN tersebut akan dijual ke swasta termasuk swasta asing. Kedua, dengan privatisasi terhadap PLN, maka secara otomatis harga Tarif Dasar Listrik (TDL) akan mengalami kenaikan bahkan hingga 500 persen. Sebab subsidi akan dicabut pemerintah ketika saat ini subsidi telah mencapai Rp 38 triliun. Nantinya sudah tidak ada lagi pemilahan tarif, seperti golongan S (golongan sangat kecil), R (rumah tangga), B (bisnis), I (industri), dan P (pemerintah). Masing-masing golongan itu juga dibagi-bagi lagi seperti R1, R2, serta R3 berdasarkan batas dayanya. Nantinya semuanya akan disamaratakan tarifnya karena sudah dikelola swasta, termasuk swasta asing sehingga mereka tidak peduli dengan pemilahan tarif yang selama ini diberlakukan PLN. Kalau sekarang harga listrik berkisar Rp 600- Rp 660 per kwh, maka nantinya akan naik hingga Rp 3.000 per kwh. Namun pemberian subsidi sebesar itu bukan karena kinerja PLN tidak efisien, tetapi karena tidak tersedianya gas secara mencukupi sehingga terpaksa PLN menggunakan minyak yang jauh lebih mahal karena dengan harga industri Rp 7000 per liter. Jika ada gas yang cukup, maka biaya operasionalnya hanya Rp 20 triliun per tahun. Tetapi operasi dengan minyak maka bisa mencapai Rp 80 triliun pertahun. Seandainya gas yang digunakan untuk pembangkit listrik PLN tersedia dengan cukup, maka pemerintah tidak perlu mensubsidi dan PLN justru untung, tidak terus-menerus defisit seperti sekarang. Kalau harga listrik sampai naik 5 kali lipat, maka otomatis akan ikut memicu kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok yang memberatkan rakyat kecil. Ketiga, sebenarnya pengesahan RUUK yang baru ini pada hakikatnya sama dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan Nomor 001-022/PUU-1/2003 tanggal 15 Desember 2004. Dalam UU itu disebutkan kelistrikan Jawa-Bali akan diswastakan dan menyerahkan PLN luar Jawa kepada Pemda. Karena UU itu berbau neoliberal dan bertentangan dengan semangat UUD 1945, maka ditolak Mahkamah Konstitusi. Karena itu, yang berlaku tetap UU No 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan ketika pemerintah bertanggungjawab penuh menanggani ketenagalistrikan di Indonesia. Privatisasi PLN Kalau selama ini pemerintah berdalih sejumlah BUMN yang diprivatisasi tidak efisien, tidak transparan, korup dan sebagainya, sebenarnya alasan itu kurang tepat dan terkesan dicari-cari. Hal yang sebenarnya adalah pemerintah ingin menjualnya ke pihak swasta termasuk swasta asing meski akhirnya merugikan negara. Bahkan tidak hanya itu, pemerintah bersama DPR justru menerbitkan UU yang menguntungkan investor asing dan merugikan bangsa sendiri, seperti UU Migas tahun 2001 dan terakhir UU Ketenagalistrikan sekarang ini. Kalau sebelum terbitnya UU Migas, Pertamina mampu memproduksi 1,8 juta barel minyak per hari, sekarang hanya mampu memproduksi 800-900 ribu barel minyak per hari. Lha yang 900 ribu barel per hari hilang di mana? Selain itu Pertamina kalah dalam rebutan Blok Cepu melawan Exxon Mobil. Semuanya ini sebagai dampak dari perundangan UU Migas. Sebelumnya persoalan Migas ditanggani Pertamina sehingga perusahan asing seperti Exxon Mobil, Chevron, Unocol dan sebagainya selalu di bawah pengawasan pertamina. Sekarang Pertamina tidak berhak mengawasi mereka. Sekarang tidak ada lagi yang mengawasi setiap titik sumur minyak yang dikelola asing, tetapi mereka hanya melaporkan saja dan BP Migas hanya sebagai tukang catat atas laporan tersebut. Bahkan orang Indonesia kalau ingin masuk ke anjungan minyak lepas pantai milik perusahaan asing akan dipersulit. Jadi mereka sudah seperti negara dalam negara. Jadi sebenarnya produsen minyak Indonesia sekarang adalah perusahaan minyak asing. Maka tidaklah mengherankan ketika harga minyak dunia naik, pemerintah justru pusing karena subsidi pasti akan membengkak. Sementara dalam kasus PLN ini, seandainya pemerintah mampu menyediakan gas secara cukup, maka tidak perlu disubsidi karena PLN akan efisien dan untung. Tetapi anehnya, gas yang melimpah ruah di negara ini justru dijual ke luar negeri dengan harga murah bahkan lebih murah daripada harga di dalam negeri. Harga gas alam Indonesia di luar negeri hanya 3,16 dollar, sedangkan di dalam negeri sebesar 5,5 dollar per . Dari total kapasitas listrik PLN yang mencapai 30.000 MW ketika 22.000 MW di antaranya di Jawa-Bali, pembangkit listrik PLN yang menggunakan gas hanya 7 persen karena tidak tersedia gas yang cukup. Yang lainnya adalah air 10 persen, panas bumi 10 persen, minyak bumi 33 persen dan batubara 40 persen. UU Ketenagalistrikan Jika Serikat Pekerja PLN tidak lagi mengajukan judicial review ke MK seperti sebelumnya yang mampu membatalkan UU No.20 Tahun 2002, maka secara otomatis UU Ketenagalistrikan (UUK) akan diberlakukan pemerintah dan menguntungkan investor asing yang melirik bisnis listrik karena sungguh menggiurkan. Dengan begitu, nanti hal itu akan dipecah. Pembangkit dikelola perusahaan sendiri, transmisi perusahaan sendiri, distribusi perusahaan sendiri dan retail perusahaan sendiri. Bahkan Pemda akan ikut berperan dalan kelistrikan di daerahnya. Sebagaimana dikatakan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, harga jual tenaga listrik, harga sewa jaringan dan tarif tenaga listrik bersifat regulated. Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ini ditetapkan pelaku usaha setelah mendapatkan persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah. Tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR atau ditetapkan Pemda dengan persetujuan DPRD. Pertanyannya, kalau PLN sampai dibubarkan atau diambil alih swasta dan swasta asing, jika pemerintah ingin memberikan kesejahteraan listrik kepada rakyatnya sebagaimana diamanatkan UUD 1945, harus melalui lembaga apa? Apa negara kita semakin terjerumus ke dalam kapitalisme dan liberalisme? (80) —Umar Hasyim, anggota DPRD Kota Solo dan mantan anggota DPRD Jawa Tengah sumber : cybernews.com

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Atas Komentar Anda...

 

Cari Tahu...


Banner

BLOGNYA ONEDEE Copyright © 2009 Community is Designed by Bie

world.gif Pictures, Images and Photos